Tuesday, August 24, 2010
Semangat!!! *fesbuker mode:on*
Kalau masih ada yang ingat sama film Jalangkung, di mana perjalanan mencari sebuah desa bernama Angker Watu harus melalui hutan beraroma mistis, itulah yang gw alami. Hanya berjarak sekitar empat kilometer dari lokasi Alas Tua Barat, tamasya iseng itu malah berlarut-larut makin ke dalam menyelami rasa penasaran kami. Ditandai sebuah gapura seadanya, mobil Pak Faisol berbelok dari jalan utama desa, mulai menjejaki jalur sepi, meninggalkan cahaya yang memang sudah remang, diiringi hujan daun-daun kering, hanya berbekal lampu jauh sebagai pembuka jalan, bagai menempuh titian tanpa ujung. Gw buka jendela di sisi gw. Selain karena Pakde Aris juga mulai membakar linting buatannya, gw ingin merasakan sensasi hembusan angin yang entah kenapa terasa makin menjadi seiring kita masuk ke dalam hutan. Tak lama berselang, seberkas kerlip yang terlihat menyelinap dari rimbunnya pepohonan membangunkan lamunan masing-masing kita, sadar bila yang dituju telah dekat.
Kahyangan Api.. Itu sebutan masyarakat sekitar untuk petilasan yang satu ini. Diantar seorang penjaga situs (kali ini gw lupa menanyakan siapa namanya), kita diajak untuk sejenak membaca pelat peresmian situs tersebut. Adalah seorang pembuat keris di jaman Prabu Brawijaya (Girindrawardhana, sekitar 1440-an Masehi) yang bernama Ki Kriyo Kusumo yang memanfaatkan api abadi ini sebagai sarana penempaan karya-karyanya. Saking mumpuninya, beliau diberi gelar Mpu Supagati dan dipercaya untuk mengemban tugas pembuatan mahakarya yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya, walaupun dipercaya banyak orang masih tertanam tidak jauh dari tempat tersebut. Keris yang dikenal dengan nama Dapur Jangkung Luk Telu Blong Pok Gonjo (jangan tanya gw apa artinya..). Belum lagi hasil karyanya yang lain, sebuah tombak bernama Semar Dodok yang banyak diincar orang-orang karena diyakini bahwa siapapun pemilik tombak tersebut akan mampu menaklukkan hati wanita manapun. Saat gw konfirmasi tentang hal tersebut ke sang juru kunci, bapak berusia sekitar 70-an tahun tersebut dengan tanpa senyum sedikitpun memberi jawaban yang lebih masuk akal: Asal seseorang memiliki uang dan beras, wanita manapun pasti akan terpikat. Sebuah metafora yang sangat universal sekaligus sebagai jawaban yang membuat kecewa para pencari jalan pintas yang telah kehilangan kepercayaan diri dan menomorduakan ikhtiar.
Yang lebih mengagumkan lagi adalah fakta bahwa api tersebut ditemukan jauh sebelum zaman Mpu Supagati, Prabu Brawijaya, atau bahkan lebih awal dari era pertengahan sejarah Jawa: 645 Masehi! Bisa dibayangkan bagaimana sebuah 'tungku' bisa tetap menyala setelah ribuan tahun, tetap berkobar mengiringi masa ratusan generasi, menjadi saksi berpindahnya kekuasaan baik itu secara turun temurun maupun melalui pemberontakan yang melahirkan dinasti dan wangsa baru.
Apa sih yang istimewa? Ini bukan Danau Toba yang lebih tua hingga ke zaman prehistorik, atau Candi Borobudur yang bahkan sempat menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Api abadi di Bojonegoro ini menjadi salah satu dari sekian banyak bukti bahwa tanah air kita menyimpan banyak sekali potensi dan kekayaan alam. Jika saja bangsa eropa sudah mengenal invasi sejak abad permulaan, mungkin sejarah imperialisme akan lebih jauh ditarik ke belakang mengingat kekayaan nusantara ternyata telah terungkap jauh sebelum yang kita ketahui selama ini.
Bukan saja kaya, bangsa kita adalah bangsa yang terkenal kuat pada zamannya. Tom Pires, pelaut asal Portugis dalam catatan Summa Orientel (1515) menceritakan bahwa Anunciada (kapal Portugis terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung milik pelaut-pelaut Demak yang sangat megah, tidak bisa ditembus meriam, dan seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku; kehebatan yang juga diakui oleh biksu Odrico, Jonhan de Marignolli, dan Ibn Battuta yang sempat berlayar ke Nusantara. Bicara tentang 'Jung', ini bukan berasal dari bahasa Mandarin 'chuan' yang berarti perahu, yang lebih mendekati adalah kata 'jong' dalam bahasa Jawa yang dapat ditemukan dalam sejumlah prasasti Jawa kuno abad ke-9. Tidak heran bila jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang dikatakan fenomenal, para penjelajah laut Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia, jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar. Dan tentu saja jangan lupakan superioritas Majapahit yang mampu selama dua abad menguasai Asia Tenggara, atau Sriwijaya yang menaungi perairan Asia bagian Selatan jauh sebelumnya.
Lalu bagaimana dengan 'penjajahan' Belanda terhadap Nusantara yang selalu kita pelajari dalam buku-buku sejarah berlangsung selama 350 tahun? Perlu diingat bahwa makna dari 'menjajah' adalah 'menguasai'. Betulkah mereka menguasai Nusantara selama 3,5 abad?
Mari kita lakukan kilas balik agar lebih jelas.. Berawal pada 22 Juni 1596, Belanda melalui ekspedisi dagang di bawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat untuk pertama kalinya di Pelabuhan Banten untuk kemudian segera angkat kaki karena arogansi mereka. Kemudian setelah selama bertahun-tahun mengambil simpati penguasa lokal, barulah mereka diperbolehkan berdagang.. Lalu melakukan monopoli.. Dan akhirnya membentuk VOC yang oleh Pemerintah Kerajaan Belanda diperbolehkan menjalankan perang, diplomasi, bahkan merebut wilayah-wilayah yang dianggap strategis bagi perdagangannya. Tuh.. Lihat sendirikan buktinya kalo 'bule' pasti ngelunjak kalo dikasih hati..
Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda (setelah VOC dibubarkan akibat korupsi yang parah) berusaha melakukan konsolidasi kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan baru selesai dengan berakhirnya Perang Aceh. Jadi, baru setelah tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia di kemudian hari.
Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara. Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun saja. Jadi jelas nggak benar kalau kita dibilang dijajah Belanda selama 3,5 abad. Yang benar adalah Belanda butuh 3,5 abad untuk bisa menguasai Nusantara..!!
Tapi memang gak bisa dipungkiri jika imperialisme selama ratusan tahun pastilah membawa dampak negatif kepada bangsa kita. Mental kita menjadi mental orang yang terjajah. Sumber daya alam dirampas tanpa kita mendapat hasil bagi yang bermanfaat untuk masyarakat banyak. Merasa kerdil di tengah dominasi barat. Rela meninggalkan identitas hingga membanggakan budaya luar. Korupsi dan memperkaya diri tanpa memikirkan orang lain yang dibuat sengsara. Konsumtif tanpa kendali, sampai harus belanja ke luar negeri, memperkaya negara lain dengan mencuci otak lewat gengsi barang-barang merk luar negeri. Sungguh, itulah penyakit-penyakit yang ditanamkan para 'penjajah' ke dalam diri kita, orang tua kita, dan para pendahulu kita. Penyakit yang sudah berakar selama ratusan tahun, mungkinkah sembuh hanya dalam waktu singkat?
Pramoedya Ananta Toer, dalam manuscript 'Mata Pusaran' menyebutkan bahwa manusia Majapahit pada zamannya masih memiliki kesempurnaan diri dan tidak dapat dianalogikan dengan orang modern sekarang yang telah melata di bawah dominasi bangsa kulit putih selama berabad. Walau pun kemerdekaan pada 1945 yang konon para pemimpinnya berusaha membangun kembali nation dan character building. Membangun kembali manusia terbebas dari sebutan bangsa kuli di antara bangsa-bangsa lain.
Bukan kapasitas gw untuk menjelaskan pentingnya nasionalisme. Juga kurang tepat kalau gw dibilang terlalu membanggakan bangsa sendiri, mengagung-agungkan kejayaan masa lampau, atau tidak bisa melihat kenyataan yang sedang terjadi. Slogan 'Merdeka Atau Mati' terasa basi jika diteriakkan saat ini di tengah mabuk kepayangnya generasi muda oleh euphoria keberhasilan instan, sinetron sampah, video porno, atau pelecehan-pelecehan fungsi media lainnya yang makin membuat kualitas para penerus bangsa bukan semakin baik, tapi justru terjun bebas.
17 Agustus 1945, seperti bulan ini, jatuh tepat dibulan Ramadhan. Bulan suci sekaligus bulan kemenangan. Perang Badar (2H), Pembukaan kota Mekah (8H), Pembebasan Spanyol (92H), Pembebasan Palestina (584H), dan Kemerdekaan bangsa Indonesia (1945), semua terjadi di bulan Ramadhan. Sudah pasti bukan sekedar kebetulan.. Karena kesungguhan orang-orang yang berpuasa dalam ikhtiar dan doa sangatlah dekat dengan pertolongan Allah. Gw aja waktu dulu diterima di tempat gw kerja sekarang, test dan interview-nya juga tepat di bulan puasa.. (yang ini jangan dibandingin sama kemenangan besar di atas..).
Sayangnya juga banyak kejadian-kejadian belakangan ini yang malah disebut kekalahan. Salah satunya adalah dipermalukannya kedaulatan negara kita oleh kekurangajaran Malaysia yang dengan sangat lancang menangkap petugas DKP di tengan misi dinasnya. Lalu diperparah dengan gagapnya pemerintah kita menanggapi ini, jatuh harga diri dengan menukar abdi-abdi kita tadi dengan maling-maling ikan yang sudah jelas mengambil dari perairan Indonesia. Nota diplomatik yang terlambat, ketidak mampuan presiden memberikan penjelasan kepada rakyatnya tentang apa yang terjadi dan apa yang akan dilakukan makin membuat kita tidak percaya diri sebagai bangsa yang besar dan telah berdaulat selama ratusan tahun.
Tapi apa lacur.. Itulah potret Nusantara kita saat ini. Bah..!!!
Labels:
diary,
travelling
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment