Sunday, November 2, 2008

Ketika hujan turun


Hujan lagi. Gw selalu senang sama hujan. Saat melihat mendung mulai menggantung, gw matikan AC, buka sedikit jendela, menghirup 'wangi' hujan yang mulai tercium, dan menanti sang hujan turun. Mungkin terdengar melankolis bagi sebagian orang yang membaca ini, tapi hujan buat gw adalah saat-saat yang memang penuh inspirasi. Gemercik air yang jatuh dari kanopi, terpaan butir-butir hujan yang mengetuk kaca jendela, dahan pohon jambu yang melambai-lambai, berisik atap kandang burung yang terbuat dari seng, dan siulan angin melewati celah lubang exhaust -- semua gw nikmati dengan mata terpejam dan hela napas yang panjang. Serasa ada aliran hawa sejuk yang membangkitkan ide-ide sentimentil gw. I'm a sucker of rain. Gw seperti udah kecanduan. Kalo Herman Lantang mencari 'tempat persembunyian' di puncak gunung, gw cukup menemukannya dalam rintik hujan.


Tapi sayangnya hujan di banyak kota-kota besar di Indonesia khususnya di Jakarta bukan sesuatu yang melegakan. Hujan yang seharusnya menjadi berkah seakan berubah menjadi semacam 'kutukan'. Genangan air, jalan rusak, deadlock di perempatan yang gak tau kenapa lampu merahnya mati setiap hujan. Jakarta berubah kumuh. Citra sebuah ibukota negara nggak lagi terlihat. Yang ada cuma pemandangan mobil, motor, bajaj, truk, metro mini tumplek jadi satu. Waktu tempuh yang seharusnya cuma empat puluh menit bisa memuai gak jelas sampai tangan 'kemeng' menahan kopling. Gimana gw mau sabar apalagi zikir kalo nuansa sekitar penuh suara klakson dan umpatan..


Apalagi sekarang mulai masuk musim hujan. Warga Jakarta yang langganan kena banjir harus siap kondisi siaga satu kalo gak mau harta bendanya hanyut atau rusak terendam lumpur. Mereka seakan sudah terbiasa menerima musibah seperti ini tiap tahunnya. Seakan memaklumi bencana ini adalah sesuatu yang wajar. "Ya beginilah Jakarta. Kalo punya duit cari aja daerah yang gak banjir." Pemikiran skeptis yang tidak memperbaiki keadaan. Begitu banjir datang dan rumah terendam sampai berhari-hari, baru kita sibuk mengeluh dan memaki semua pihak mulai dari gubernur yang dulu waktu kampanye dibela mati-matian, dinas tata kota, kampung sebelah yang lebih tinggi, atau bahkan kota Bogor yang mengirim banjir (banjir kok dikirim-kirim).

Padahal ini tanggung jawab bersama. Tanggung jawab semua orang yang hidup, tinggal, dan merasa memiliki kota ini. Termasuk para pendatang atau sekedar 'commuter' yang mencari peruntungan. Janganlah mengharapkan jawaban pemda yang belum jelas realisasinya. Banjir Kanal Timur (BKT) tidak akan serta merta menyelamatkan kota ini dari banjir. Masih banyak sungai-sungai di Jakarta yang tidak dilewati oleh BKT ini. Masalah pembebasan lahan yang tidak kunjung usai membuat proyek ini seperti digantung dan malah menimbulkan konflik baru. Solusi harus datang dari kita sendiri. Pengerukan dan pelebaran bibir sungai akan percuma kalau masyarakat tetap menjadikan sungai sebagai tempat sampah -- suatu perilaku nggak mau susah yang mendarah daging di sebagian besar warga.

Huh.. Kalo aja pemda kita nggak cuma mementingkan pembangunan yang berbau 'proyek'. Kalo aja masyarakat kita nggak merasa lebih pintar saat dikoreksi. Kalo aja orang kita nggak merasa lebih benar saat diberitahu; masalah ini pasti sudah beres dari dulu. "Jangan samain kayak Singapur dong, mereka kan negara maju. Di sini makan aja susah, harus ikut mikirin lingkungan.." Apa hubungannya negara maju sama hidup bersih!!? Gw pribadi sejak lama menanamkan dalam diri sendiri bahwa buang sampah sembarangan itu dosa! (Mudah-mudahan nanti MUI mengeluarkan fatwa ini). Gak jauh kok nyari tempat sampah. Yaris loe juga masih kelihatan bagus dengan dustbin imut di belakang jok. Nggak susah sebenarnya kalo kita mau sadar dan mau melihat ke depan akibat dari perbuatan kecil kita.

28 tahun sudah gw hidup di Jakarta. Gw mengamati titik banjir yang selalu bertambah dari tahun ke tahun. Memang rumah gw di Pondok Bambu nggak pernah kebanjiran, tapi siapa yang tau dua atau tiga tahun lagi? Kalo kita nggak ambil tindakan, semua -- gak peduli lo di Pondok Indah atau di istana negara sekalipun -- pasti kena akibat bencana ini. Ancaman konkrit dan penyakit menahun yang solusinya jelas nggak sesederhana payung dan jas hujan.

Mungkin gak ya kita berubah? Bisa gak kira-kira kita sama-sama sadar? Maukah kita menjadikan hujan sebagai pelajaran untuk mengingat kembali pentingnya menjaga kebersihan lingkungan?

Dengan kemauan dan itikad baik.. Insya Allah.

"It was raining and just finished but the shadow of rain persists." Photo by Irnirjhar.

3 comments:

indah said...

liMemang bener kalau masyarakat jakarta setiap musim hujan udah terbiasa sama yang namanya banjir didaerahnya atau disekitarnya. Mereka berpikir "hitung-hitung bersihin rumah dan sekitarnya" dan emang seneng sama yang namanya rutinitas angkat2 barang, mungkin sudah sebagian orang yang ngerti namanya "Kebersihan", tapi tidak bagi orang2 yang tinggalnya di belantaran kali atau dirumah2 yang biasa akrab sama yang namanya "Sampah", mereka enggak mau pusing sama yang namanya "Kebersihan disekeliling lingkungannya". Sebenarnya yang harus lebih perhatian lagi adalah "Gubernur dan Pemerintah".. Jangan cuma berkoar pada awal mereka baru menjabat aja tapi harus bisa rutin dan terus-menerus melakukan pengarahan dan memelihara yang namanya kebersihan dan saluran air disemua daerah, jangan cuma di daerah istana merdeka dan kawasan elit aja...
Udah 4thn tth kenal sama cintaku, kalau yang namanya hujan, pasti cintaku jadi lebih romantis, tapi sayang istrinya kurang tanggap sama yang namanya "Romantis", jadi yang ada bukannya kaya film romantis malah jadi kaya acara "Srimulat", maaf yah sayang....

Unknown said...

setuju bung tyo..hujan adalah anugerah, apapun output yang dihasilkan. mungkin ada sebagian orang yang nggerutu klo hujan tapi ada juga yang menanti turunnya hujan. apalagi temem kita yang punya usaha ojek payung, wah pasti ditunggu2 tuh datengnya hujan :)

sebuah fenomena alam yang biasa, tapi kalo kita bisa sejenak merenungi dan memikirkannya. maka akan terbersit betapa Mahanya Allah kepada hamba2nya.

tapi bagi saya yang paling berkesan adalah aroma tanah yang basah karena hujan. udah kebayangkan aromanya? entah bagaimana, aroma tsb mengingatkan masa kecil saya. penuh nostalgia dan kenangan.

kesadaran masyarakatnya plus ketegasan pemerintah yang sangat kurang, itulah akar masalahnya. kalo aja semuanya bisa bersinergi dengan apik, pasti hujan akan selalu memberi dan membawa kenangan.

dr.Eko said...

ready or not..
banjir tetap datang,
waspadai penyakit yg mungkin timbul seperti penyakit kulit (gatal-gatal) sampai yg terberat sperti demam berdarah,

kalo flu dicampur batuk ringan sih kayanya langganan dimusim seperti ini, siapkan daya tahan tubuh, banyak konsumsi sayuran, plus suplemen vitamin...

ayo,jangan mau kalah sama banjir!
dari pada "ngarepin" kang Foke, mending kita jaga aja keluarga tersayang dari akibat buruk yang namanya hujan