Friday, November 28, 2008

Trip to Chapeau


Another duty call. Ditengah kesibukan persiapan untuk job-job yang akan mulai akhir dan awal tahun, gw tiba-tiba harus berangkat untuk start up salah satu job Pertamina di blok Cepu. Dihitung-hitung ini lumayan bisa jadi 'break' dari rutinitas yang melelahkan, soalnya kerja di OSL Jakarta itu lebih banyak capeknya dibanding kalo gw harus ke lokasi (asal bukan rig up). Di Jakarta terlalu banyak yang harus di-handle; mulai dari request, preparation, report, meeting, dan berbagai hal yang menyita waktu, pikiran, dan tenaga. Sedangkan di lapangan gw cuma harus fokus ke satu kerjaan dan istirahat setelah selesai. Jadwal makan yang teratur dan menu yang cenderung lebih bergizi juga menjadi sisi positif yang membuat badan gw selalu 'stay in shape' selama di lokasi dan kembali sedikit berlemak setelah kembali ke rumah. Apalagi setelah menikah suplai susu sangat teratur, makin chubby lah awak..


Pagi buta di hari Minggu gw bersiap-siap berangkat untuk mengejar pesawat jam 6. Dengan bawaan tas besar plus box geo dengan berat 40 kg dan dimensi 65cm x 57cm x 43cm yang jelas gak masuk bagasi Blue Bird, gw berangkat menuju Cengkareng dari rumah Pondok Bambu dilepas ibunda dan istri tercinta (kayak mau kemana gitu..). Masuk Terminal 2 setelah satu jam perjalanan, gw minta tolong porter untuk membantu mengeluarkan box dari jok belakang dan mengantar sampai meja check in. Disapa ramah Mbak Melviza pada counter 23 (gak tau kenapa gw selalu susah melupakan senyum yang tulus), gw tercengang dengan biaya excess baggage yang harus dibayar: Rp. 511,000! Kurang ajar nih kotak.. Udah berat, ngerepotin, nguras dompet lagi.

Setelah memesan tempat duduk favorit ke Melvi yaitu gang-belakang, gw langsung naik ke lounge dengan boarding pass bernomor seat 23D sambil menelepon Indah untuk menjaga hati (nuno kali..) selama gw jauh, gak lupa sholat, dan selalu mendoakan supaya gw baik-baik aja. Oh ya, kalo lo pada mau naik pesawat gw saranin kayak gw yang selalu memesan 'gang-belakang'. Karena posisi di nomer-nomer belakang pesawat adalah posisi sugesti orang kalo aja ada hal-hal yang nggak diinginkan. Selain itu di belakang kita bisa denger mbak-mbak pramugari pada bercanda dan bergosip. Percaya deh, candaan mereka bisa bikin kita berfantasi. Trus di gang supaya kalo mau ke toilet gampang dan gak perlu permisi-permisi ke orang sebelah.

Landing di Juanda Surabaya jam 7.10, gw yang udah janjian sama yang mau mengantar, Robi, segera berangkat ke lokasi menggunakan Avanza. Sambil terkantuk-kantuk karena kurang tidur, gw berusaha menemani Robi dengan obrolan basa-basi khas Indonesia: Asli mana Pak? Udah lama tau daerah sini? Biasa nganter ke Cepu? Sedangkan Robi pun gak kalah basa-basinya: Udah nikah mas? Mau berapa lama di Cepu? Kirain tadi mau konser bareng Dewa di Kodam bawa-bawa box gitu. Kira-kira kenapa ya lumpur Lapindo bisa menyembur gak habis-habis? Percakapan lintas topik yang berisi pertanyaan-pertanyaan seperlunya dan jawaban-jawaban ala kadarnya itu berlangsung selama empat jam. Tapi untungnya pinggang sakit dan pantat panas sedikit terobati begitu melewati salah satu jalan di kota Babat -- kota kecil antara Lamongan dan Bojonegoro -- yang selalu memberi kesan old school buat gw. Serasa Jogja di tahun 40-an (sok tua banget gw).

Masuk kota Cepu. Kota kecil tapi sibuk yang masih wilayah Kabupaten Blora ini nggak terlihat seperti layaknya daerah penghasil minyak. Dari dulu sejak kota ini bernama Tjepoe sampai sekarang nggak terasa pembangunan yang 'wah'. Nggak seperti Balikpapan yang penuh dengan fasilitas. Cepu sama nasibnya seperti Duri di Riau yang terlantar di bawah industri energi yang seharusnya justru memberi kesempatan daerah tersebut untuk berkembang. Otoritas pusat yang kurang memihak rakyat memang menjadi sebab ketidakadilan ini. Selain itu orang kita juga masih mendewakan aura para bule oportunis yang memang memanfaatkan mental inlander kita. Sayang.


Lokasi tujuan gw sebenarnya adalah sumur KTB-06 di daerah Kedung Tuban. Sumur milik Pertamina PPGJT (Proyek Pengembangan Gas Jawa bagian Timur) ini sudah berkali-kali gw kunjungi. Pertama sekitar April. Waktu itu kru Geo rig up awal untuk persiapan pengeboran sumur KTB-03. Proses rig up memakan waktu satu bulan karena selain rig belum seratus persen siap akomodasi juga belum ada. Itupun baru berjalan sebentar kru harus dipulangkan lagi karena engine utama rig rusak karena nggak kuat menahan beban (alasan mereka). Masalah ini terulang lagi. Waktu itu gw harus tinggal sampai dua hari tanpa mengerjakan apa-apa karena lagi-lagi engine meledak di tengah-tengah test run. Padahal mereka bilang engine itu baru (baru dicat kali). Setelah mendatangkan engineer dari luar pengeboran bisa dilanjutkan. Tapi dasar apes, sumurnya ternyata nggak bisa dijinakkan sehingga terpaksa harus Plug & Abandon (tutup dan tinggalkan). Jadilah KTB-03 ditinggalkan.

Setelah beberapa bulan gw kembali lagi untuk start up sumur selanjutnya: KTB-06. Sempat berharap mudah-mudahan nggak ada problem lagi, tiba-tiba temen gw jatuh kecemplung di cellar bekas KTB-03. Kolam sedalam 2 meter berisi air kotor campur oli tersebut seharusnya diamankan sesuai standar keselamatan. Anehnya insiden ini nggak pernah dilaporkan atau setidaknya dibahas dalam meeting. Ternyata aspek safety tidak menjadi concern utama di rig Pertamina ini. Padahal safety merupakan sesuatu yang sangat-sangat dijunjung tinggi dalam operasi pengeboran di perusahaan asing.

Kurangnya perujukan terhadap standar operasi juga terlihat saat mereka melakukan POOH (Pull Out Of Hole) atau mencabut rangkaian pipa dari dalam sumur. Trip tank yang dibiarkan kosong padahal sumur telah 'terbuka' bisa berakibat fatal seperti gas yang menyembur ke permukaan. Prosedur well control sepertinya tidak dikuasai para kru rig. Belum lagi para representative yang memperlakukan service company seakan-akan pelayan yang bisa disuruh sana-sini. Arogansi dibalik kekosongan. Lucu juga. Yang kita hadapi di sini ternyata bukan beban kerja, tapi lebih ke bagaimana mengatasi manusianya. Heran.. Kenapa orang kita sukanya mempersulit bangsa sendiri ya?

Kedalaman baru mencapai 127 meter dengan putaran tinggi (150 rpm) ketika tiba-tiba terdengar suara ledakan kecil diikuti asap tipis dari engine top drive. Yang kita takutkan terjadi lagi. Operasi lagi-lagi terhenti untuk hal-hal kayak gini. Apa yang salah ya? Kurang persiapan atau kurang pengetahuan? Yang jelas kalau setiap pengeboran di Indonesia harus mengalami proses melelahkan seperti ini.. Bisa bangkrut ibu pertiwi.

3 comments:

indah said...

Kemana aja suami tugas, pasti istrinya gak pernah lupa buat selalu doain suaminya,jangan "aneh2" aja...:). Gak salahkan setiap tth tlp selalu bilang "hati2", soalnya tthkan gak tau kerjaan tio disana kaya apa, contohnya yah, ada temen segala yang kecebur gitu.... Kalau udah ada kasus2 kaya gitu, emangnya gak ada pihak yang mau tanggung jawab apa, dianggap itu cuma kecelakaan kecil aja yah? indonesia..indonesia.....
Berarti besok2 kalau bisa, kalau mau naik pesawat, minta posisi paling belakang aja, biar jaga2/aman... tio enak bisa denger pramugari pada ketawa-ketiwi & berimajinasi, kalau tth gimana?, ngapain dengerin pramugari pada ngegosip...basi..... lebih enak duduk di deket pilotnya, supaya kalau ada apa2 tau duluan, iya kan...

widhi hernanto said...

wah..jadi sering jalan2 yak..byk pengalaman pastinya boz??

memang aneh negara kita ini, semua kebutuhan hidup ada, mulai dari yang tinggal nanam sampai yang harus digali dulu..tapi anehnya kebanyakan rakyatnya masih aja banyak yang kekurangan..

padahal nyari minyak itukan butuh biaya yang ngga sedikit, makanya harga2 pada mahal karena pemborosan seperti itu masih sering terjadi...

salah sapa yak? apa rakyatnya yang males ataukah para pemimpin yang gak peduli sama nasib rakyatnya? kalo aja di zaman kaya gini, Khalifah Umar bin Khattab masih hidup..wah anggota dewan yang terhormat bakalan habis semua klo mereka masih bisa makan enak sementara rakyatnya gak punya rumah dan makanan..sayangnya sejarah hanyalah tinggal sejarah, semangat meneladaninya masih kurang atau bahkan gak ada sama sekali..

semoga dlm perjalanan tsb bung tyo mendapatkan hikmah dan dpt mengambil makna dari pentingnya u/ sll bertafakur dan bersyukur...

syukron

dr.Eko said...

nice trip bro..

tapi, selalu saja.. gak di dunia persilatan manapun..

yang namanya kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia aduuuuhhhhh pada males mengembangkan diri.

gw yakin bro, alasan SDM di cepu tadi tuh, pastinya mereka bilang "emang udah biasa kerja begini"
udah pekerjanya pada bodoh, atasan juga diem aja (gak ngerti juga kali) terakhir yang paling penting...SISTEM kerja!
mungkin sistem kerjanya udah ada dan udah bagus, seharusnya kalo sistem udah ada dan bagus "kambing" juga bisa disuruh kerja..
ato sistem kerjanya gak beres???

Mati aja pelan2..
yuuukk mmarrriiii...