Sunday, January 11, 2009

Hembus Halus Angin Mamiri


Libur telah usai. Sunset makin tenggelam. Madu sudah habis. Kesenangan beranjak pergi. Waktu memang terasa berjalan cepat saat kita menikmatinya. Dua minggu cuti seperti cuma dua hari. Janji untuk total bersenang-senang selama cuti nggak bisa dipenuhi demi melihat inbox yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan bernada memaksa yang rata-rata berarti: "Please help us or everything will be shut down." Khas banget gaya orang-orang marketing yang kebakaran jenggot dan selalu nggak punya jawaban saat client mengangkat isu tentang kelemahan dalam sistem. Salah gw juga. Ngapain ngecek email kalo lagi cuti?


Hari pertama masuk langsung meeting soal komplain dari Cepu tentang masalah transmisi WITSML (Wellsite Information Transfer Specification Markup Language) yang intermittent. Problem ini sebenarnya sudah gw amati sejak gw mulai cuti, tapi karena dalam masa cuti makanya gw cuekin aja. Toh akhirnya mereka bisa menemukan solusi dengan sendirinya. Selain masalah WITSML ada satu lagi yang dibahas yaitu tentang start up PPGM (Proyek Pengembangan Gas Matindok) milik Pertamina yang akan mulai beberapa hari lagi. Hmm.. Gw pikir ini bisa jadi jalan keluar gw dari masalah-masalah di OSL yang selalu bikin stres. Lagian udah lama gw gak rig up. Walaupun kebayang capek dan panas yang akan dialami gw gak peduli. Mendingan badan remuk dan kulit terbakar daripada cerebelum gw meleleh menahan stres. Plus gw mau tau yang namanya Sulawesi Tengah, tepatnya di suatu daerah yang baru gw dengar namanya: Luwuk.

Luwuk? Sounds like in the middle of nowhere.. Masih Indonesia kah? Jangan-jangan belum ada peradaban di sana! Tanya cemas yang pasti terlontar dari orang-orang yang melulu tinggal di Jawa atau Indonesia bagian barat. Bahkan nama Ternate atau Timika masih terdengar lebih familiar. Tapi Luwuk? Kedengarannya seperti daerah terbelakang yang cuma bisa dicapai dengan menumpang sampan melalui rawa penuh buaya atau helikopter di mana kita harus turun dengan tangga tali karena tidak ada tempat untuk mendarat. Belum lagi penduduknya yang masih bertahan hidup dengan menombak ikan atau menjerat babi hutan. S**t! Kayaknya untuk trip kali ini gw harus siap perbekalan obat malaria atau minyak kayu putih extra untuk menangkal serangga-serangga aneh yang mungkin merayap di tempat tidur.

Setelah transit di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar, gw ganti pesawat dengan 737-200 kepunyaan Batavia Air. Cuma armada Batavia dan Merpati yang punya rute ke sana, itupun nggak setiap hari. Gw lumayan menikmati perjalanan udara kali ini. Bentangan hijau di bawah membuat kita serasa terbang melintasi hutan-hutan di amerika selatan. Hutan hijau padat yang kadang-kadang terlihat dibelah sungai yang turun dari bukit ke lembah dan sedikit samar ditutupi awan hujan mengangkat sedikit kebanggaan gw sebagai bangsa dari negeri yang sempat kondang dengan julukan jamrud khatulistiwa. Walaupun sedikit ngeri waktu pesawat naik turun diterjang angin atau ketika mesin meraung-raung mengatasi turbulensi, atau saat kebanyakan penumpang, termasuk gw, komat-kamit membaca doa selamat, bisa dibilang ini perjalanan yang asik.

Pesawat mulai mengurangi ketinggian dan terbang menukik sejajar dengan garis pantai beberapa saat setelah mbak Dewi Yulia, sang pramugari, mengingatkan gw untuk mengencangkan sabuk pengaman, melipat meja, dan menegakkan sandaran kursi. Luwuk yang masih misteri mulai terlihat di luar jendela. Jalan berkelok-kelok diiringi pohon-pohon kelapa berumur puluhan tahun di sisi pantai membuat gw makin gak sabar untuk segera turun dari pesawat dan menikmati sejuk angin laut. Pesawat mendarat sedikit terantuk-antuk di runway Bandar Udara Syukuran Aminuddin Amir. Disambut hujan, para penumpang berlari-lari ke terminal kedatangan, atau mungkin lebih tepatnya pos kedatangan, karena nggak ada conveyor pengantar koper atau setidaknya troli atau semacamnya. Untung orang-orang sini nggak brutal berebut koper dan dus. Mereka tertib menunggu giliran bawaannya di lempar ke semacam perosotan untuk kemudian diambil oleh si empunya ke luar.


Gw tampaknya harus menarik prasangka buruk sebelumnya tentang tempat ini. It's not that bad. Kalo dipikir suatu kabupaten dengan sebuah airport menandakan daerah tersebut layak didanai sedemikian besar. Dan itu nggak salah. Luwuk nggak jauh beda dengan Cirebon atau Sukabumi. Gw gak tau pendapatan daerah seperti apa yang membuat kota ini lumayan 'tidak terbengkalai'. Yang gw tau dari Junior, driver yang mengantar, banyak dari mereka yang tinggal di pesisir bermatapencaharian sebagai nelayan atau petani kopra. Tapi yah.. Siapa tau daerah ini menyimpan kekayaan lain.

Tujuan gw sebenarnya masih sekitar dua jam perjalanan lagi: Matindok. Blok sumur-sumur Pertamina yang kaya gas. Berlokasi di tengah hutan penuh lebah madu dan babon. Panas terik waktu siang tapi sejuk dan berhias jutaan bintang saat malam. Hujan yang selalu turun saat subuh dan berhenti saat sarapan pagi dan kadang membentuk pelangi. Ya.. Pelangi. Fenomena alam yang gak tau kapan terakhir gw lihat selama gw tinggal di Jakarta. Walaupun makanan di camp jauh dari makanan yang didapat di rig offshore, ada buah-buah hikmah yang bisa gw petik dari keterasingan ini: Rasa rindu keluarga. Makin jauh, makin menderita, makin ingat gw sama Indah. Lucu ya, setiap hari ketemu kita malah jarang saling mengucap sayang. Tapi begitu cuma dihubungkan dengan sinyal terputus-putus baru deh romantis-romantisan kayak abg baru jadian.

Ditemani saraba -- minuman hangat dengan ramuan gula merah, jahe, susu, dan telur -- plus pisang epe' yang disediakan warung dadakan di samping camp, kita, para personil geo dan kru rig biasa menghilangkan kejenuhan dengan mengobrol hingga jam sepuluh sambil menonton vcd karaoke dari televisi hitam putih punya pemilik warung. Atau kadang-kadang kita keluar ke Toili, sekitar satu jam dari lokasi, sekedar mencari suasana lain. Bahkan sempat kita balik ke Luwuk untuk membeli persediaan yang sudah habis sambil mampir di R.M. Nelayan di Jl. Jend. Sudirman. Menikmati ikan laut segar dibakar dengan saus kecap manis plus dabu-dabu yang sedap. Wah.. Gw jadi punya ikan favorit sekarang: Kerapu merah. Dagingnya lembut banget dengan duri yang sedikit.

Tahun baru kali ini gw 'rayain' di lokasi. Sayang memang. Nggak ada kembang api, terompet, atau kaleidoskop di televisi. Cuma ada keheningan, suara jangkrik, dan napas gw sendiri. Nggak ada renungan suci atau acara kumpul-kumpul membacakan resolusi tahun baru. Semua orang terlelap tidur karena esok hari harus bangun jam empat untuk bersiap-siap kerja lagi. Tinggal gw yang belum menarik selimut. Bukan nggak kedinginan. Gw terbayang seseorang nun jauh di sana. Gw gak mungkin memaksakan mata tetap terjaga sampai jam satu untuk mengucapkan selamat tahun baru kepadanya di Jakarta yang lebih lambat satu jam. Gw teringat lagi malam tahun baru enam tahun silam. 31 Desember 2002, di depan sebuah rumah berpagar hijau di bilangan Antilope. Ketika dia keluar dari balik pintu itu. Ketika hidup gw nggak akan sama lagi mulai detik itu. It was the moment of truth. Saat di mana Allah memberi jawaban atas doa-doa gw. Saat angin takdir meniupkan dengan khidmat: "Jabat tangannya. Temukan rahasia belahan jiwamu di matanya."

Gw bersyukur menemukannya malam itu. Malam yang patut diingat. Malam di mana setiap insan menegakkan janji untuk berubah walaupun mungkin akan diingkari keesokan pagi. Selamat datang dua ribu sembilan.

Selamat tahun baru, sayang..

5 comments:

indah said...

aBesok2 kalau memang ambil cuti, harus bener2 gak berhubungan sama yang namanya kerjaan kantor, jadi gak ada tuh yang namanya liat kalimat : "Please help us or everything will be shut down". Ada 1 hal yang gak pernah tio lupa setiap tugas, yaitu nama2 pramugarinya :(,untungnya 3 cewek yg ada di foto gak ikut2 dibahas, lebih seneng kalo tio cerita tentang keindahan dan dan kuliner yang ada disana...:). Pelangi di Jakarta, kayanya udah jarang keliatan, mungkin bisa dihitung selama 1 tahun, gimana caranya yah supaya Jakarta bisa selalu diwarnain sama pelangi. Tahun baru kali ini memang kita gak sama2, tapi bener kalo tio bilang, sebenernya yang lebih berarti lagi tahun baru tahun 31 Desember 2002,kalo gak ketemu tahun itu, mungkin sekarang kita gak kaya sekarang... I Love You Honey....((H+K))

dr.Eko said...

halo bos..
enak ya jalan2 terus.
enaknya bisa ngapalin nama2 pramugari hahahaha...

btw, makanan khas daerah sana enak gak??

Jalan Keluar said...

Gw gak nyobain coto atau konro krn di sini udah banyak. Gw makan apaan aja yg gw gak tau namanya tapi khas banget Indonesia timur. Apalagi ikan2nya.. Mantabh..

widhi hernanto said...

wah...jauh amat yak jalan2nya..
tapi paling ngga yang baca blognya antum jadi tahu kalo ternyata negara ini punya kekayaan alam yang luar biasa banyak dan dahsyatnya...

btw, oleh2 khas dari sana apaan boz? klo bisa potonya agak dibanyakin boz, soalnya pengen tahu juga daerah Indonesia yang nun jauh disana..

syukron..

Unknown said...

mo tanya donk, dari bandara hasanuddin naik pesawat ke luwuk bayar brp? bln des nanti mo ke makasar, tp mo ke tana toraja ktnya hrs naik pesawat merpati.. ancer2 aja gitu perkiraan biayanya.