Thursday, June 18, 2009

Kata kunci: Cinta, tasbih, Kairo, Habiburrahman



Mmm... Cinta! Menurutku.. Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar. Namun jika cinta kudatangi, aku jadi malu pada keteranganku sendiri. Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang. Namun tanpa lidah, cinta ternyata lebih terang. Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya. Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta. Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya. Bagaikan keledai terbaring dalam lumpur. Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan!


Kondangan lagi, kondangan lagi. Udah tiga kali dalam bulan ini. Emang afdol banget rasanya menikah menjelang bulan puasa, jadi bisa langsung menguji keimanan pasangan baru dalam menahan nafsu :), bisa langsung merasakan bedanya puasa dengan keluarga menunggu di rumah untuk berbuka bersama, dan bisa melihat berantakannya pasangan kita ketika mendadak harus bangun sahur, atau merasakan repotnya mandi wajib yang terburu-buru dikejar imsak..


Setelah sarapan sedikit aja (secara mau kondangan), kita berangkat ke Patrajasa GatSu berempat bareng Budi & Putri ke undangan resepsinya Nila, temen kuliah Indah. Mereka bukan mau ikut kondangan, tapi punya rencana minta dibayarin nonton film terbarunya Chaerul Umam yang promonya sudah digelar berbulan-bulan sebelumnya: Ketika Cinta Bertasbih (Part 1). Yup.. Bagian 1. Karena buku yang diangkat jadi film ini juga ternyata dibagi menjadi dua bagian. Dwilogi istilahnya. Seperti halnya trilogi, tetralogi, dan seterusnya, wajib hukumnya mengikuti cerita dari bagian pertama. Jangan sampai kita mengganggu penonton kanan-kiri dengan pertanyaan seperti: "Siapa tuh Frodo? Darimana dia? Ngapain dia di Mordor?".

Bukan karena tertarik iklan film tersebut kalo gw jadi ikutan mengantri di Planet Hollywood, tapi gara-gara Indah udah sejak seminggu sebelumnya memproyeksikan theatre XXI mana yang kira-kira nggak bakal padat dikunjungi para maniak novel KCB ini. Dan ternyata prediksi doi benar, PH nggak seseram cerita temen-temen gw yang harus mengantri dari jam sepuluh pagi untuk tiket masuk KCB jam empat sore. Mungkin logikanya begini.. Kalo loe mau nonton film-film model KCB atau AAC (Ayat-Ayat Cinta), carilah bioskop yang kira-kira penduduk sekitarnya nggak terlalu interest sama film-film seperti ini. Tapi kalo mau nonton film-film model Gie, Crouching Tiger, atau mungkin film Pembalasan Sang Barongsai, jangan coba-coba nonton di Kelapa Gading..

Kapasitas Habiburrahman El Shirazy (HES) sebagai seorang penggarap cerita-cerita berlatar belakang Islami sudah nggak diragukan lagi. Setelah novel AAC yang laris manis dan filmnya yang sukses dengan menyedot 2,6 juta penonton dalam waktu singkat tahun lalu, dan tentu saja setelah memberi MD Pictures untung besar-besaran, KCB menjadi film yang patut ditunggu. Genre drama religi yang diusung AAC, yang awalnya diduga akan basi, ternyata secara mengejutkan berhasil menjadikannya sebuah produksi yang nggak sia-sia. Wacana poligami yang diangkat dalam film tersebut terasa tepat membidik polemik tentang suami beristri lebih dari satu yang sedang santer saat itu.

Sempat kepikiran ini film nggak akan jauh-jauh dari AAC. Dengan kata kunci yang kurang lebih sama: Mesir, cinta, mahasiswa, apa yang bisa diangkat lebih jauh? Ternyata HES masih belum kehabisan akal dan masih jauh dari kehilangan sentuhan. At least, not these days.. Perbedaan yang paling mencolok adalah para pemeran utama yang belum dikenal sama sekali. Melalui proses casting yang panjang, Chaerul Umam dan timnya secara hati-hati memilih pemeran demi pemeran untuk tokoh-tokohnya. Bagus lah untuk penyegaran. Gw sebagai aktivis GPASL (Gerakan Pemuda Anti Sinetron Lebay) jelas nggak akan mau nonton ini film kalo sampe yang jadi Azam adalah Dude Harlino..


Aih.. Ternyata hasil castingnya nggak sia-sia.. Sebelum lepas satu jam pertama gw menganggap film ini adalah parade akhwat-akhwat berwajah surga dengan senyum yang mampu menggetarkan hati preman Kampung Ambon sekalipun. Yang menjaga setiap tawa sebatas yang diizinkan aurat suaranya. Yang melirik hanya sekilas dan membuat para lelaki tak pernah merasa cukup. Dengan tatapan teduh tapi tajam mengandung arti: "Kalo iman loe cuma setengah-setengah, gak usah mimpi deketin gw!"

Bercerita tentang mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Mesir sana, KCB memperlihatkan bagaimana sebuah kemandirian bisa membentuk rasa tanggung jawab, kebulatan tekad dalam menentukan tujuan, dan ketekunan yang pada akhirnya akan membuahkan hasil. Cinta dan percintaan dituturkan dengan hati-hati oleh si penulis untuk dapat menggambarkan bagaimana sebuah mekanisme pencarian pasangan hidup tidaklah semudah menimbang apel dalam keranjang. Bahwa proses ta'aruf yang kurang populer di kalangan sebagian besar anak muda bukanlah seperti membeli kucing dalam karung. Dan bagaimana menjaga kesucian dari suatu hubungan antara pria dan wanita justru bisa meningkatkan kualitas hubungan itu sendiri.

Jelas film ini menjadi sebuah penyegaran. Jalan keluar dari memalukannya cerita-cerita sinetron-sinetron di televisi yang nggak jauh dari kebencian, sarkasme, dengki, dendam, selingkuh, anak berani sama orang tua, dan cerita-cerita pembodohan masyarakat lainnya. Atau reality show palsu di mana seorang client meminta untuk dicarikan orang yang sudah lama hilang, tapi begitu ketemu sang target selalu ada adegan adu mulut, dorong-dorongan, trus hostnya jadi ikut sok jagoan. Cape gak sih tiap hari nonton kayak gini?

Memang sih ada beberapa pihak yang menyayangkan diskriminasi dalam film ini terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), seakan-akan ODHA adalah orang-orang yang tertutup untuk menikah. Ini dilema, dimana saat ini sedang gencar-gencarnya kita memerangi AIDS dan diskriminasi terhadap ODHA, film yang diharapkan membawa pencerahan ini justru memperlakukan sebaliknya. Yah.. Habiburrahman kan juga manusia. Dia bisa khilaf. Kita sendiri pasti berusaha untuk tidak mengecewakan siapapun, tapi tetap aja kita nggak bisa menyenangkan semua orang.

Gw sih tetap mengambil sisi positif dari film ini. Secara banyak scene diambil di Mesir dan menggunakan percakapan dalam bahasa Arab, gw jadi sedikit-sedikit bisa menangkap kata-kata dalam bahasa Arab. Ada dua kata yang paling gw hapal: ANNA ALTHAFUNNISA.

2 comments:

indah said...
This comment has been removed by the author.
indah said...

AAC bagus, tapi gak sebagus KCB klo indah bilang.. karena AAC agak sedikit cerita sinetron, beda sama KCB yg emang ceritanya lebih kekehidupan sehari2, semoga aja KCB bisa sama menarik, bagusnya kaya film "Laskar Pelangi", dan terakhir cerita kayanya susah ditebak kalo film KCB, gak kaya reality show yg lagi ngetrend dan sinetron yg gak pernah tamat. Kita tunggu sequelnya ya Pih, mudah2an gak kalah bagusnya kaya sequelnya film Transformer & Twilight, secara bulan juli juga..