Thursday, August 20, 2009

Pahlawan juga manusia



"Untuk mewujudkan keinginanku atas Majapahit yang besar. Untuk mewujudkan mimpi kita semua, aku bersumpah akan menjauhi hamukti wiwaha sebelum cita-citaku dan cita-cita kita bersama itu terwujud. Aku tidak akan bersenang-senang dahulu. Aku akan tetap berprihatin dalam puasa tanpa ujung semata-mata demi kebesaran Majapahit. Aku bersumpah untuk tidak beristirahat. Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, samana ingsun amukti palapa."


Dengan cara menahan napas, dia mencoba mengendalikan degup jantungnya yang melompat kesana kemari. Mulut ditutup rapat. Gigi gemeretak. Napas yang sekali-sekali memburu beradu cepat dengan derasnya keringat yang membasuh punggung. Matanya memerah dan basah. Sebenarnya selinting rokok di ujung bibir bisa menutupi kegelisahannya, tapi itu jelas bertentangan dengan janjinya untuk tidak menyentuh hal-hal makhruh apalagi haram. Dia tidak ingin menodai saat-saat terakhir perjuangannya dengan keduniawian semacam itu.


Dengan langkah kaki yang sudah dilatih berbulan-bulan lamanya, dengan kemantapan hati yang telah ditanamkan bertahun-tahun sebelumnya, dia berjalan menyeret tas itu. Ramai perbincangan di lobi dan kesibukan bell boy membantu para tamu tidak disimak olehnya. Cuma denging panjang di telinga pertanda adrenalin yang terlampau deras membanjiri pembuluh darah. Lima belas meter sudah dilewati. Empat puluh detik lebih lambat dari waktu yang disepakati. Tatapannya sedikit berkunang-kunang ketika pandangannya menyapu setiap sudut ruangan. "Kemana orang-orang amerika kafir itu? Apa mereka terlambat bangun?". Tanyanya dalam hati ketika melihat seorang waitress sedang menuangkan kopi dan rekan-rekannya merapikan meja dan kursi. "Aahh.. Aku sudah sejauh ini.. Biarlah..!". Dikepal kuat-kuat tangannya yang gemetar. Ditariknya napas dalam-dalam memenuhi rongga dada. Dipejamkan matanya hingga lipatan kelopak terkecil sambil menghitung dalam hati saat-saat unsur laknat dalam tasnya bereaksi satu sama lain. Tiga.. Dua.. Satu.......

Kemudian tinggal hening. Sempatkah dia melihat malaikat maut mengulurkan tangan dan mengucapkan salam? Adakah dia mengalami kilas balik mozaik hidupnya seperti yang diceritakan para flatliner? Apakah dia mendapatkan kemuliaan seperti yang dijanjikan? Tidak ada yang tahu. Bahkan sang komandan yang memberi perintahpun tidak tahu. Mereka cuma dipaksa mengerti bahwa semua orang pasti mati, tapi mereka lebih memilih mati di ujung peluru eksekusi atau tubuh tercerai berai oleh peledak di badan sendiri. Syahid.. Menurut mereka.

Terus.. Apa hubungannya cerita martir barusan dengan kutipan pembuka di atas? Buat yang belum ingat, itulah Sumpah Palapa. Sumpah mengerikan yang diucapkan oleh seorang yang bukan sembarangan. Sumpah yang diucapkan di pendopo Bale Manguntur sesaat setelah pengangkatannya menjadi Mahamantrimukya sekitar tujuh ratusan tahun yang lalu. Sumpah yang membawanya ke konsekuensi untuk memilih tidak menikah, bermewah-mewah, dan bersenang-senang. Sumpah yang membuatnya mampu mempersatukan wilayah-wilayah mulai dari Onin (Papua) di timur sampai Tumasek (Singapore) di barat yang sekarang disebut Nusantara di bawah satu panji yaitu bendera gula kelapa Majapahit. (Disebut demikian karena berwarna merah kehitaman seperti gula jawa dan putih seperti daging kelapa -- Apakah secara kebetulan bendera kita sekarang berwarna merah putih?).

Dialah Mahapatih Gajah Mada. Pahlawan pemersatu sekaligus orang yang bertanggung jawab atas tewasnya ribuan prajurit baik dari pihak Majapahit maupun negeri-negeri yang diserbunya. Semua demi 'cita-cita agung': Mempersatukan nusantara. Harus diakui saat itu wilayah yang sekarang disebut NKRI merupakan wilayah yang tidak mudah ditaklukkan, bahkan oleh bangsa adidaya saat itu, Mongolia. Puluhan ribu bala tentara Kubilai Khan dipukul mundur dan tercatat sampai sekarang dalam kitab sejarah mereka sebagai kekalahan terbesar yang pernah dialami. Semua tercapai ketika bersatu. Itulah buktinya.

Namanya terukir sebagai orang paling berpengaruh seantero Jawa. Bahkan prabu Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu, hampir selalu mendelegasikan titahnya kepada sang Mahapatih. Hingga tiba satu peristiwa yang memperlihatkan bahwa seorang Gajah Mada adalah manusia biasa, yang sarat dengan nafsu kebablasan. Perang Bubat (jika tak mau disebut pembantaian Bubat) yang menewaskan Prabu Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari kerajaan Sunda Galuh menamatkan karirnya sebagai Mahapatih. Prabu Hayam Wuruk yang marah karena pembantaian tersebut dinilai tidak pantas, karena menurutnya Sunda adalah saudara dekat Jawa, melorotkan sang patih dari jabatannya dan mengasingkannya di Madakaripura.

Gw sama sekali gak bermaksud membandingkan teroris pengecut dengan seorang Gajah Mada. Masing-masing adalah pahlawan bagi kaumnya. Sang martir pasti dielu-elukan pengorbanannya oleh segelintir rekan-rekannya, sekaligus dikutuk seluruh rakyat Indonesia, bahkan dunia. Sedangkan Gajah Mada tetap menjadi icon pemersatu Nusantara hingga kini, tentu saja dengan mengesampingkan dosa-dosa perangnya. Selalu ada sikap yang bisa diteladani dari sosok pahlawan. Kebanggaan sebagai bangsa yang pernah jaya dahulu bisa mendongkrak kepercayaan diri kita di tengah krisis identitas yang disebabkan imperialisme budaya dan diperparah dengan pencurian warisan-warisan leluhur oleh negara tetangga. Kerja keras tanpa kenal lelah yang dilakoni Gajah Mada dalam mengejawantahkan sumpahnya harus menjadi cambuk untuk kita bangkit unjuk gigi di kancah internasional. Laku prihatin dan tidak mementingkan diri sendiri patut diteladani mengingat negara ini sudah menanggung hutang yang membelit dari generasi ke generasi.

Klasik memang.. Ajakan seperti ini sudah sering dilantangkan para pemuda kita sejak Sumpah Pemuda dulu, didendangkan lewat lagu-lagu perjuangan, diteriakkan instruktur upacara setiap tahun saat memperingati hari kemerdekaan. Tapi naskah proklamasi yang dulu terdengar sakti sudah mulai dilupakan. Merah Putih yang saat pertama kali dikibarkan mampu membakar semangat patriotisme, kini hanya menjadi rutinitas tahunan upacara bendera yang dihadiri sedikit terpaksa karena mengganggu jadwal libur kita. Padahal kita semua tahu bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.

Patriotisme memang tidak perlu berlebihan. Kita tidak harus menjadi seorang Gajah Mada, apalagi membai'at diri menjadi teroris (amit-amit..). Gw percaya ada pahlawan dalam setiap diri kita. Pahlawan keluarga, pahlawan hak asasi, pahlawan lingkungan (my favorite), pahlawan pendidikan, dan banyak lagi yang rela berkorban demi apa yang diperjuangkan. Sempat terpikir gw mau menjadi pahlawan yang diidam-idamkan setiap insan: Pahlawan cinta..!

Berhubung aura kepahlawanan masih terasa hangat di bulan Agustus ini, dan seiring datangnya bulan Ramadhan penuh hikmah, gw pribadi dengan sangat tulus meminta maaf bila ada salah persepsi dalam tulisan-tulisan di blog ini. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga tahun ini kita bisa lebih khusyuk menjalankannya, dapat kembali fitrah, dan selalu dalam bimbingan dan petunjuk-Nya.

Merdeka..!!!

1 comment:

indah said...

Kalo "Pengantin" teroris, jelas bukan pahlawan, melainkan orang yang kehilangan akal dan gak sadar. Zaman dulu Pahlawan yang berkorban untuk Indonesia cukup banyak, tapi udah zaman modern ini masih ada gak yah orang mau jadi Pahlawan untuk membela Bangsa dan Negara tanpa dapet balas jasa, sebuah pangkat dan kekuasaan?