Tuesday, February 9, 2010

Di tempat hatiku berada


Changi, Terminal 1 Keberangkatan, 15 menit menjelang pukul 8 malam. Pesawat gw masih sekitar satu jam lagi. Buku yang gak sempat gw bawa membuat gw gak ada kerjaan lagi selain duduk menunggu sambil memperhatikan sekitar. Kemegahan Changi Airport sebagai serambi wisata bukanlah main-main. Mereka benar-benar serius menggarap lahan seadanya menjadi sebuah anjungan penyambut turis yang hi-tech, praktis, tidak ribet birokrasi, tapi tetap tegas menyikapi pelanggaran bea cukai dan ketat menjaga prosedur imigrasi.


Seharusnya ini bukan saat yang membosankan. Tapi receh terakhir di kantong sudah bahkan nggak cukup untuk menukar Lays di snack dispenser, apalagi untuk sekedar bacaan ringan di Borders. Toko oleh-oleh di sepanjang koridor tidak pernah jauh dari menawarkan baju, parfum, cokelat, liquors, atau aksesoris chinese new year. Ya iya lah.. Masa gw mengharapkan toko pempek di Changi.. Cuma karpet tebal dan posisi enak yang lumayan menghibur saat-saat menunggu boarding call ini. Bahkan wifi pun nggak ada yang free, semua harus login untuk mendaftarkan kartu kredit kita, untuk kemudian ditagih bulan berikutnya hanya untuk bandwidth pas-pasan seharga SGD30 per 24 jam. Nice country!!

Kali ini gw ke Singapore bukan untuk rigup atau commissioning. Dua minggu ini gw menjalani training untuk produk baru geo yang diakui (oleh mereka sendiri) sebagai 'totally new concept in drilling measurements', atau sebuah 'mudlogging revolution'. Bagi orang marketing, ini berarti file-file presentasi yang baru. Bagi client, ini berarti budget baru yang wajib dipertimbangkan. Bagi HRD, ini berarti harus membuat 'keputusan sulit' (lagi) antara mempertahankan personil gaptek atau merekrut tenaga segar yang lebih kompeten tapi kurang pengalaman. Bagi FSD, ini berarti mempersiapkan server-server PowerEdge dengan RAID1 sekaligus merepotkan client dengan permintaan-permintaan slot jaringan untuk replikasi database dan transmisi real time. Bagi gw sendiri? Podo wae, ora ngefek ke gaji..


Tempat menginap selama training adalah di Grand Mercure Roxy Hotel, di daerah Roxy Square, berseberangan dengan Parkway Parade Shopping Centre. Lokasi yang pas untuk menjangkau training centre yang cuma 30 menit naik shuttle bus, dan untuk jalan-jalan ke objek-objek wisata yang juga gak jauh sekitar west coast. Secara ini juga merupakan salah satu shopping spot dan ramai oleh pengunjung lokal maupun asing, gw bisa dengan cermat memperhatikan besarnya omset penjualan hotpants dan push up bra di Singapore. Almost every chicks around are in the same god forsaken fashion.. Nice country!!! (this time i mean it..)

Bukan orang Indonesia kalo ke luar kota gak 'dititipi' oleh-oleh. Walaupun barang-barang di Singapore juga gak jauh beda dengan di Jakarta, tetap mereka mengharapkan sesuatu yang membuat gw harus mencari-cari tempat yang menggelar diskon atau sale lumayan besar. Padahal gw sendiri termasuk orang yang kalap dan suka lepas kontrol kalo melihat 'pernak-pernik' lucu di Harvey Norman, apalagi harga dalam satuan yang lebih sederhana, jadilah kalo kita gak hati-hati mengkonversi ke rupiah tagihan bulan depan akan meledak tak terkendali. Aturan buat gw gampang aja: kebutuhan gw dulu (dan Indah), keponakan-keponakan (can't help to see them mourning), baru sisa budget buat yang lain. Sorry guys, gw bukan Organisasi Oleh-oleh Dunia.. :)

Tak terhindarkan lagi, hasil belanja di Mothercare yang keren-keren (buat baby ku Maret nanti Insya Allah), plus beberapa 'dream machine' yang susah dicari di Jakarta membuat tas gw jauh menggelembung dari sebelumnya. Pesawat pulang yang di-booking untuk Jumat jam 9 PM membuat gw harus membawa tas seberat 23 kg tersebut ke training centre, karena memang gak memungkinkan untuk kembali ke hotel setelah kelas berakhir jam 6 sore. "What the hell is in your bag dude? It's so bulky..", kata Sufian, trainee dari Siria yang malah bertelak pinggang menutupi jalan. Gw bilang: "It's two weeks life in Singapore. Thanks for asking, my friend.."

Sudah jadi kebiasaan gw untuk gak menunggu di boarding lounge. Dimanapun itu, gw selalu berkeliling melihat-lihat situasi airport. Melihat-lihat jajanan, mengambil tourists map, atau sekedar meluruskan kaki. Ada satu yang terlihat berbeda dan mencolok di koridor keberangkatan airport Changi terminal 1 malam itu. Ada rombongan sekitar limapuluhan wanita berjilbab dengan jaket hijau memenuhi salah satu sisi conveyor. Ada yang duduk, tidur-tiduran, ada yang merapikan kembali isi tas yang sempat dibongkar karena berisi sesuatu yang dicurigai petugas keamanan airport, ada juga yang tersenyum-senyum sendiri membayangkan bahagianya keluarga di kampung menerima hasil jerih payahnya. Sangat mencuri perhatian. Semua orang pasti menengok, memperhatikan, mempertanyakan keberadaan mereka yang terkesan 'melecehkan' kemegahan Changi yang dibangga-banggakan para Singaporean. Sebagian lagi mencibir, padahal mereka mengaku satu rumpun dan berkali-kali ketahuan mencuri dari kita. Keamanan airport juga seperti bertindak berlebihan menyikapi kepolosan mereka dengan tanpa respek sama sekali berkata dengan tidak pantas yang tentu saja tidak dibalas oleh mereka.

Sahabat.. Merekalah yang digadang-gadang pemerintah kita sebagai pahlawan devisa. Wajah tanah air yang telah dikenal bangsa lain sebagai warga kelas ke sekian. Referensi gw tentang TKI selalu dibingkai berita-berita memilukan seperti penyiksaan, upah tak terbayar, jatuh dari apartment, atau pelecehan seksual oleh majikan. Ditengah banyaknya protes untuk tidak lagi mengirimkan TKI ke luar negeri, ironisme selalu muncul karena masih banyaknya rakyat Indonesia yang cinta keluarga dan rela merasakan hujan batu di negeri orang demi anak-anak tercinta. Kalo gw perhatikan lebih dekat lagi, ada kesamaan di wajah para wanita tersebut. Matanya menunjukkan suatu makna: Harapan. Harapan agar rumahnya di kampung bisa dibangun lebih layak. Harapan agar keluarganya bisa tetap makan tiga kali sehari. Harapan agar anak-anaknya bisa sekolah yang tinggi sehingga tidak perlu menjadi seperti mereka. Harapan agar pemerintah mau bertindak adil dan tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang kerap menghantui. Harapan yang semoga tidak hanya menjadi sekedar harapan.

Travelling bagi gw sudah bukan pekerjaan lagi. It's a life. Dan apa yang kita lakukan terhadap hidup kita? Nikmati dan belajar dari setiap langkah dan prosesnya. Dua hari setelah training di Singapore gw sudah berangkat lagi ke Lubuk Linggau, dan ke Cirebon berikutnya untuk survey rig salah satu client di Cepu. Kerjaan berat dan kadang dibumbui stres seketika lenyap ketika terbayang orang rumah bisa bayar tagihan listrik dan PAM setiap bulan. Ah.. Ternyata gw gak terlalu berbeda dengan para TKI itu..

Anehnya, setiap gw berangkat, sepanjang perjalanan ke airport Cengkareng, selama duduk di pesawat, gw selalu merasa ada yang ketinggalan. Padahal bapak supir taxi selalu mengingatkan gw, "Sudah gak ada yang ketinggalan, pak? Tiket? Paspor?". Gw selalu bilang tidak padahal dalam hati selalu risau dan memikirkan sesuatu. Tapi apa?? Oke, gw memang kadang suka ketinggalan odol sampai harus selalu meminjam teman, tapi itu gak terlalu masalah. Kaos kaki? MP3 player? Shaver? Charger hp? Sabun cair? Semua udah masuk tas.. Tapi tetap gw selalu merasa ada yang ketinggalan setiap gw berangkat ke luar kota.

Ternyata belakangan ini, setelah ke sekian banyak kalinya gw travelling, gw akhirnya baru sadar dengan sendirinya dan menjadi ingat akan apa yang selalu tertinggal.. Hatiku.

2 comments:

indah said...

Begitu baca paragraf kedua terakhir dan paragaraf akhir teteh sempet ge-er ( siapa tau yg dimaksud itu "teteh"), ternyata yg dimaksud "hatimu sendiri" ya Pih..?, kayanya bagus tuh pih untuk jadi konsep buat nulis lagu berikutnya.. ditunggu yah, tapi nanti klo udah jadi lagunya didedikasikan buat istrinya ... :)

Jalan Keluar said...

wah payah nih.. maksudnya hatiku tertinggal di rumah karena dikau sang penjaga hatiku.. Kurang peka nih :)